JAKARTA-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak
pemerintah segera mengusut tuntas peristiwa bentrok antara kelompok
anti-Syiah dan Syiah di Dusun Nangkernang, Madura, Jawa Timur, yang
terjadi 26 Agustus lalu.
Selain itu para pemimpin agama dan tokoh masyarakat juga diimbau
berperan aktif dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama sehingga
dapat tercipta kondisi saling toleransi dan mengedepankan dialog dalam
pemecahan setiap perbedaan.
’’Kami mendesak pemerintah melakukan pencegahan yang efektif agar
peristiwa serupa tidak terulang kembali. Badan intelijen negara harus
dapat melakukan tugasnya dengan benar,’’ tegas Wakil Ketua Komnas HAM
Ridha Saleh saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jalan
Latuharhari, Jakarta, Selasa (28/8).
Agar peristiwa serupa tidak terulang, Komnas HAM juga meminta seluruh
lapisan masyarakat untuk tidak terpancing dan lebih meningkatkan
kewaspadaan dalam menjaga lingkungan masing-masing.
"Pemerintah juga didesak agar menyampaikan informasi yang akurat dan
menyeluruh kepada masyarakat terhadap perkembangan penyelidikan yang
dilakukan. Ini penting agar masyarakat terhindar dari desas-desus yang
menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan," pungkasnya.
Seperti diketahui Minggu, 26 Agustus kemarin, terjadi bentrok berdarah
antara kelompok Anti-Syiah dengan Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Peristiwa itu mengagetkan karena terjadi dengan anarkis hingga menelan
korban jiwa dan pemukiman kaum Syiah pun dibakar.
Kejadian ini menimbulkan kontroversi karena ada indikasi pembiaran oleh
aparat keamanan, terutama kepolisian. Tidak akuratnya informasi juga
memunculnya berbagai persepsi yang berkembang di masyarakat. Sementara
itu, Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanudin menegaskan, meletusnya
kerusuhan di Sampang, Jawa Timur, belum tentu karena kelalaian
intelijen.
Dia menjelaskan, intelijen di era reformasi dan orde baru tidak sama.
Menurut Hasanuddin, orba intelijen Orde Baru bisa menjadi eksekutor yang
melakukan tindakan atau kegiatan operasional yang boleh "melakukan"
apapun. Sementara di era demokrasi, intelijen sebatas hanya mencari,
mengumpulkan, menganalisa dan menyimpulkan informasi.
"Kesimpulan informasi itu diberikan kepada para eksekutor yakni pada
level daerah seperti gubernur, bupati, wali kota, Kapolres, Dandim dan
lain-lain untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan yang tepat," kata
Hasanuddin di Jakarta, Selasa (28/8). Mantan Sekretaris Militer
Kepresidenan itu menjelaskan, dalam kasus Sampang ada tiga kemungkinan
terkait kerja intelijen.
Pertama, bisa jadi intelijen sudah bekerja dengan profesional dan
kemudian menyampaikannya kepada eksekutor "Tapi eksekutor tidak
merespons dan tidak menindaklanjuti hasil temuan tersebut," ucapnya.
Kemungkinan kedua, aparat intelijen bekerja tak optimal karena lemahnya
kemampuan dalam mengumpulkan dan menganalisis data, sehingga saran yang
disampaikan ke eksekutor keliru.
"Dan eksekutor pun keliru dalam membuat keputusan,’’ tegasnya.
Kemungkinan ketiga, bisa jadi tidak adanya koordinasi antara aparat
intel dengan pemerintah sehingga dua belah pihak berjalan
sendiri-sendiri. "Sebaiknya pemerintah segera membentuk tim evaluasi
dari kasus ini untuk dijadikan perbaikan dalam menangani
konflik-konflik yang akan datang," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Karenanya Hasanuddin mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) tidak mengumbar retorika dengan menurunkan menteri-menterinya ke
Sampang. "SBY harus lebih serius menangani konflik-konflik yang terjadi
di daerah lainnya, jangan hanya di Sampang," desak pensiunan TNI dengan
pangkat terakhir Mayor Jenderal itu.
Murni Kejahatan
Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin
Rahmat memastikan konflik sosial di Sampang tindak kejahatan murni.
Diperkuat oleh rasa fanatisme yang besar antar dua kelompok Syiah dan
Suni di Desa Karang Gayam, Kecamatna Omben pada Minggu malam. Menurutnya
perkara ini sudah berulang terjadi. Bukan kali pertama konflik tersebut
pecah.
Paling tidak sudah tiga kali ketegangan Syiah-Suni di lokasi teresbut.
’’Pertama itu pada 2006, kemudian 2011 dan ini yang ketiga 2012,’’ ujar
Jalaludin Rahmat yang akrab disapa Kang Jalal ini saat dihubungi di
Jakarta, kemarin. Kang Jalal lebih memfokuskan pada dugaan adanya pelaku
yang memprovokasi konflik tersebut sehingga pemerintah diminta perlu
menyelidikinya agar tidak lagi terulang di masa datang.
Lebih lanjut Kang Jalal mengatakan jika ada penindakan atas kekerasan
yang terjadi masih tidak memenuhi rasa keadilan. Pelaku kekerasan yang
sesungguhnya belum tersentuh. Sanksinya pun terkesan sangat ringan.
’’Malah kadang pelaku mendapat perlindungan. Justru korban yang
mendapatkan tindakan pengadilan tersebut,’’ ujarnya.
Dia berharap perkara ini tidak meluas. Pemerintah harus melokalisasi
peristiwanya. Bahkan cegah menjadi konflik internasional. Ketua Umum DPP
IJABI, Furqon Buchori menambahkan konflik yang terjadi harus segera
diredam. Kedua kelompok tak perlu lagi membuka luka lama. Hentikan
dengan saling berdialog. Furqon merasa khawatir persoalan ini bisa
terseret pada ranah politik.
Akibatnya pokok perkara sebenarnya menjadi tidak lengkap. Bahkan bisa
menimbulkan persoalan lain. ’’Mohon tidak membawa perkara ini pada isu
politik. Apapun kejadiannya selesaikan secara bijak,’’ jelasnya. Jika
memang ada pelaku yang bersalah, dia meminta aparat kepolisian membawa
perkaranya ke pengadilan. Pelaku harus diberikan vonis yang pantas agar
memberikan pembelajaran bagi masyarakat.
Minta Direlokasi
’’Saya bertemu keluarga KH. Tajul Muluk yang menjadi korban dari
kerusuhan tersebut. Dan mendengar beberapa permintaan dari keluarga,’’
ujar Menteri Agama Suryadharma Ali usai kunjungan ke lokasi kejadiaan,
kemarin. Dari pernyataan keluarga korban, kata dia, memang sempat muncul
permohonan pindah lokasi hunian. Mereka merasa tidak nyaman dan tenang
lagi di lokasi tersebut.
Apakah itu permintana keluarga korban saja? Menteri Agama menegaskan
permohonan relokasi itu juga disampaikan keluarga korban lainnya. Dengan
alasan sama. ’’Karena Menteri Agama tidak sebagai pemegang keputusan
soal relokasi, permohonan itu saya coba sampaikan pada kepala daerah,’’
tegasnya. Menurutnya permohonan tersebut bisa dipahami. Mengingat
konflik membuat trauma kedua kelompok.
Padahal perkaranya tidaklah sebesar itu sebenarnya. Pria yang biasa
disapa SDA itu menjelaskan, persoalan ini sesungguhnya lebih dipicu
konflik keluarga. KH. Tajul Muluk merupakan saudara dari keluarga Ustad
Rhois. Namun konflik itu tak kunjung selesai. ’’Sehingga kedua tokoh
agama yang berpengaruh itu menyeret pada jamaah yang ada.
Di sini kerusuhan mulai meluas,’’ tegasnya. Dia meminta persoalan yang
terjadi tidak diseret pada konflik jamaah Syiah dan jamaah Sunni.
Konflik itu tetap harus dilihat pada koridor persoalan keluarga. Bukan
kelompok masssa yang saling bersengketa.
Tak itu saja, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ini mengharapkan
masyarakat tidak terjebak pada isu konflik jamaah. Sekaligus dapat
menahan diri dari berbagai upaya yang memprovokasi. Apa usulan
penyelesaiannya? Dia mengatakan persoalan tersebut dipicu konflik
keluarga.
Jadi langkah terbaik dalam perkara ini adalah rekonsiliasi keluarga.
Tidak perlu diperluas pada persoalan lainnya. Lembaga Komnas HAM meminta
pemerintah dapat lebih perhatian pada kebutuhan pengungsi. Para korban
yang mengalmai tekanan psikologis tersebut perlu dukungan kenyamanan
yang cukup agar dapat segera memperbaiki kondisinya.
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan para pengungsi tersebut harus
mendapatkan perhatian khusus. Tidak pantas dalam kondisi hidup di
pengungsian tidak mendapatkan kebutuhan layak. ’’Mereka (pengungsi)
harus mendapat perlakukan memadai dari pemerintah daerah dan mendapat
perhatian khusus. Seperti sandang, pangan, kesehatan harus dijamin
selama mereka mengungsi di GOR itu,’’ ujarnya di Kantor Komnas HAM,
Jakarta.
Selain itu, lanjut dia, solusi terbaik bagi para pengungsi adalah bukan
dipindahkan. Justru yang diperlukan rasa aman. Pemberian rasa aman
selama di pengungsian atau pun tempat tinggal menetapnya.