RITUAL mudik
Lebaran sudah berakhir. Yang tersisa adalah evaluasi yang membuat kita
mengelus dada. Korban kematian di tengah arus mudik itu meningkat
dibanding tahun sebelumnya. Arus mudik dan balik tahun ini membawa
korban 908 meninggal dunia. Angka ini sangat merisaukan karena meningkat
15 persen dibandingkan 2011. Dari data yang dikeluarkan Mabes Polri,
sebagian besar kecelakaan tersebut melibatkan roda dua. Totalnya:
terjadi 5.233 kecelakaan. Jumlah roda dua yang terlibat melebihi jumlah
kecelakaan, yakni 5.634 motor. Sedangkan mobil pribadi 1.188 unit serta
276 bus.
Sepeda motor! Moda inilah
yang menjadi aktor utama kecelakaan di jalan raya. Lihat saja, jumlah
roda dua yang terlibat melebihi jumlah kecelakaan itu sendiri. Karena
itu, korban yang meninggal di ”ladang pembantaian” yang bernama jalan
raya saat arus mudik adalah masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang
hanya bisa pulang untuk bersilaturahmi ke kampung halaman dengan
menggunakan roda dua.
Ada beberapa faktor mengapa
masyarakat ”terpaksa” menggunakan roda dua. Pertama, cara ini paling
ekonomis. Hanya dengan mengisi beberapa liter bensin, mereka sekeluarga
sudah bisa pulang kampung. Tidak ada yang lebih murah daripada kendaraan
roda dua ini. Pemerintah harus mencari antitesis untuk menyiapkan
kendaraan murah yang bisa dijangkau publik.
Gerakan mudik gratis
termasuk salah satu antisipasinya. Tapi, fasilitas tersebut masih sangat
terbatas. Terbatas dalam arti kuantitas serta terbatas dalam pengertian
jarak tempuh. Karena bus gratis distinasinya adalah terminal di kota,
sementara sebagian besar pemudik harus menjangkau tempat tinggalnya di
pelosok desa. Problem yang juga harus dipecahkan, bagaimana arus mudik
semakin mendekatkan pemudik dengan tempat tinggalnya.
Faktor lain adalah jalan
pikir masyarakat dan mentalitas pemudik. Saudara kita yang mudik dengan
motor juga nekat menantang maut. Motor yang kapasitasnya hanya untuk dua
orang, sering digunakan dengan empat jiwa bila keluarga itu mempunyai
dua anak. Pemadangan miris, seperti menempatkan anak di depan, menjadi
hal biasa melintas selama mudik. Anak dijadikan tameng. Anak kecil
berada di depan untuk menahan angin sepanjang jalan. Belum lagi, cara
seperti itu bisa menimbulkan ketidakseimbangan yang berpotensi
menghadirkan malapetaka. Terhadap persoalan kedua ini, pemerintah harus
pandai berkampanye agar keluarga beranak banyak tidak nekat menggunakan
roda dua. Banyak caranya, termasuk memberikan prioritas bagi keluarga
tersebut dalam mudik gratis. Tugas kita semua untuk menggugah pemudik
roda dua agar berpikir waras.
Persoalan lain adalah
fasilitas jalan jalan raya bagi roda dua. Tingginya angka kecelakaan
roda dua juga karena mereka bercampur baur dengan roda empat, termasuk
dengan bus. Memang sulit, tapi harus mulai dipikirkan cara memisahkan
jalur roda dua dan roda empat. Misalnya, memisahkan rute roda dua dan
mobil. Arus besar motor hanya lewat jalur-jalur alternatif. Jalan raya
yang mau tidak mau, juga harus dilewati mobil dan motor, diberi tanda
pemisah jalur.
Posting Komentar