Channel 12- Pilkada DKI Jakarta putaran kedua punya
daya tarik tersendiri bagi saya pribadi. Kalau ditanya, tepatnya apa
yang menarik dari Pilkada Ibu Kota yang sedang memasuki tahap final ini,
saya sendiri tidak bisa memberi sebuah jawaban yang pasti.
Sempat saya berpikir, tahap akhir
Pilkada DKI ini menarik hati karena di sana “bertarung” dua kubu yang
berlawanan. Bak melihat sebuah film action buatan Hollywood, saya
menggolongkan kubu yang satu sebagai “jagoan” dan kubu yang lainnya
sebagai “penjahat.” Bukankah setiap narasi menjadi hidup karena diisi
oleh kontras antara kebajikan dan kebatilan, antara yang lemah dan yang
kuat, antara keadilan dan kesewenang-wenangan? Dan layaknya film-film
bergaya Hollywood, kisah ini “mestinya ditutup dengan sebuah happy ending” berkat kemenangan yang benar atas yang salah, yang lemah atas yang kuat dan yang bijak atas yang batil.
Saya pikir, cara saya memahami Pilkada
DKI sebagai sebuah skesta hitam putih yang kaya akan kontras ini dapat
menjawab pertanyaan tentang daya tarik pesta demokrasi warga Ibu Kota
dalam memilih pemimpinnya kali ini. Ternyata tidak. Cara melihat
hitam-putih semacam tadi terasa dangkal dan kekanak-kanakan. Meminjam
istilah Iwan Fals, dunia hitam-putih hanya ada di dalam komik. Dalam kenyataan hidup, setiap pihak selalu berwarna abu-abu…tergantung mana yang lebih dominan: hitamnya atau putihnya.
Saat ini, saya cenderung melihat bahwa
Pilkada DKI kali menarik bukan semata-mata karena faktor profile para
calon yang maju ke babak kedua. Daya tarik tersebut terutama adalah
warga DKI Jakarta itu sendiri yang dengan penuh rasa percaya diri berani
memilih pemimpin idaman yang mereka kehendaki.
Dari putaran pertama tampak bahwa warga
Jakarta tidak begitu ambil pusing tentang latar belakang politik calon
pemimpin mereka. Dua orang calon yang lolos ke putaran kedua didukung
oleh partai-partai politik yang bermasalah: dua partai besar pernah dan
sedang ditimpa kasus korupsi; satu partai lainnya dipimpin oleh mantan
petinggi militer yang pernah terlibat kasus pelanggaran berat HAM. Toh
latar belakang partai-partai politik itu seolah diabaikan. Warga Jakarta
tampaknya lebih terfokus pada kriteria lainnya.
Salah satu kriteria yang dimaksud adalah
kompetensi.Warga Jakarta menginginkan seorang gubernur yang tahu
membuat kota Jakarta menjadi lebih teratur, lebih aman, lebih mudah
dalam memberikan pelayanan-pelayanan bagi warganya. Oleh karena itu,
diperlukan sosok yang tahu betul seluk-beluk “hutan rimba” birokrasi
pemerintahan kota. Maka tidak heran kalau dua calon yang lolos ke
putaran kedua berlatar belakang “birokrat” perkotaan: yang satu walikota
Solo, yang lainnya gubernur DKI Jakarta itu sendiri. Calon-calon
lainnya yang berlatar belakang militer, politik maupun akademisi pada
bertumbangan.
Tetapi, bukankah ada satu calon yang
juga seorang gubernur, tetapi tidak lolos ke putaran kedua? Dan mengapa
dalam putaran pertama yang memperoleh suara terbanyak justru seorang
wali kota dan bukan salah satu dari dua orang gubernur yang ada?
Dalam kasus ini, setidaknya selama
putaran pertama, lebih dari 40 persen warga Jakarta menghendaki
perubahan. Perubahan itu diyakini datang dari calon yang memiliki rekam
jejak yang memperlihatkan keberpihakan calon tersebut pada warga yang
dipimpinnya. Keabsahan rekam jejak itu nampak dari pendekatan yang
dibuat calon yang bersangkutan selama kampanye. Buat apa menampilkan
rekam jejak yang indah-indah kalau selama kampanye justru gagal
melakukan pendekatan dan komunikasi yang pro-warga? Warga Jakarta bukan
sekedar menginginkan pemimpin yang tahu mengatur kota tetapi juga
pemimpin yang berpihak pada kepentingan mereka, tahu berkomunikasi
terutama mendengarkan dan menghargai mereka.
Dan yang terakhir, warga Jakarta
khususnya dan bangsa Indonesia umumnya sangat terbuka pada kebhinekaan
dan menjauhi sikap-sikap fanatik yang mendorong permusuhan dan
perpecahan. Perbedaan suku dan agama para calon, paling tidak selama
putaran pertama, nyaris lenyap dari konsumsi pemberitaan media dan
kampanye para calon yang berkompetisi. Pun menjelang putaran kedua, isu
SARA yang sempat menghangat akhirnya mendingin dengan sendirinya.
Dengan demikian, selama putaran pertama,
warga DKI Jakarta sudah menunjukkan kedewasaan sikapnya dalam memilih
secara langsung calon pemimpin mereka. Latar belakang politik, suku dan
agama dapat dikatakan menjadi urutan kesekian. Yang terpenting bagi
warga adalah kepemimpinan yang dapat dipercaya dan berpihak pada mereka.
Dan kepercayaan itu tidak dapat dibeli: tidak dengan uang maupun dengan
janji-janji, tetapi dengan bukti.
Jika putaran kedua nanti juga berlangsung secara aman, tertib dan adil, maka siapa pun yang menjadi gubernur dengan predikat Jakarta 1, kedaulatan hukum dan demokrasi menjadi pemenangnya.
Posting Komentar