Channel 12 - PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan
permohonan penggugat atas uji materi Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Nomor
8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 terkait ketentuan proses verifikasi partai politik (parpol) dan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT)
dalam Pasal 208 dan Pasal 209, memberikan nuansa positif bagi parpol
menengah ke bawah. MK memutuskan semua parpol yang ikut pemilu 2014
harus lolos verifikasi KPU. Begitu pula, besaran angka PT 3,5 persen
hanya berlaku untuk DPR, tidak untuk DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Putusan MK membuat semua parpol mempunyai kedudukan sama di mata hukum yang dijamin UUD 1945. Sembilan parpol yang saat ini duduk di DPR, parpol yang tidak lolos PT pada pemilu 2009, dan parpol baru harus membuktikan syarat kepengurusan dan kualitasnya sebagai calon peserta pemilu 2014. Tetapi jangan terbuai dulu, sebab syarat untuk lolos sebagai badan hukum cukup berat, misalnya harus memiliki persentase kepengurusan 100% semua provinsi, 75% di kabupaten/kota di setiap provinsi, 50% pada kecamatan di setiap kota/kabupaten.
Keterwakilan basis massa harus tersebar di seluruh pelosok Indonesia, serta memiliki keanggotaan minimal seperseribu dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Apabila syarat-syarat sudah terpenuhi, parpol disahkan sebagai badan hukum.
Sementara verifikasi sebagai peserta pemilu merupakan proses pemeriksaan terkait keterpenuhan syarat sebuah parpol untuk mengikuti pemilu. Artinya, parpol harus berbadan hukum agar bisa menjadi subjek hukum (peserta) pemilu 2014, karena sistem hukum Indonesia mengualifikasi badan hukum sebagai salah satu syarat menjadi organisasi politik. Pemilu merupakan barometer demokrasi sehingga ketentuan hukum yang mengaturnya harus pula demokratis.
Koreksi bagi Pembuat UU
Memang sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8/2012 mengabaikan prinsip equality before the law, diskriminatif terhadap parpol yang tidak punya kursi di DPR dan parpol baru dengan mengharuskan diverifikasi untuk menjadi peserta pemilu. Sebaliknya, justru memberi hak istimewa kepada sembilan parpol yang mempunyai kursi di DPR lantaran tidak wajib diverifikasi.
Lagi-lagi terbukti begitu lemahnya proses legislasi dan kemampuan pembuat UU sehingga banyak ketentuan UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh MK lantaran bertentangan dengan UUD 1945. Lebih dari itu, putusan MK diharapkan menggiring pelaksanaan pemilu 2014 di atas pondasi konstitusi yang menempatkan semua parpol setara di muka hukum. KPU sejak 10 Agustus 2012 telah membuka pendaftaran verifikasi parpol, dan yang akan diverifikasi menurut Pasal 16 UU Nomor 8/2012 adalah kelengkapan dan kebenaran persyaratan parpol.
Banyak kalangan menilai sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8/2012 yang terkait syarat verifikasi begitu diskriminatif lantaran menguntungkan parpol yang memenuhi PT di DPR. Tetapi ketentuan tersebut tidak diuji materi di MK sehingga harus diikuti semua parpol. Publik berharap agar KPU tidak gentar menilai kemampuan sebuah parpol untuk memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 2014. Sebab verifikasi tidak hanya ditujukan sebagai mekanisme mengecek kesiapan dan terpenuhinya syarat sebagai peserta pemilu bagi parpol baru, tetapi juga menguji eksistensi bagi parpol yang telah lama eksis atau yang duduk di parlemen.
Sistem Presidensial
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tentu saja tidak akan mungkin memuaskan semua pihak, terutama parpol besar yang duduk di DPR. Tetapi terlepas putusan MK mengundang pro-kontra di kalangan petinggi partai, yang diharapkan adalah menerima dengan lapang dada. Harus dimaknai bahwa putusan MK sama sekali tidak berkaitan dengan membelenggu kebebasan berserikat. Sebab membangun membangun kehidupan dalam berdemokrasi, paling tidak harus sejalan dengan konstitusi yang menjujung tinggi kepentingan rakyat.
Penetapan PT dan keharusan diverifikasi bagi setiap parpol, tentu saja memiliki konsekuensi. Misalnya, kemungkinan terbatasnya jumlah parpol yang akan menjadi peserta pemilu 2014. Ketentuan PT sebetulnya sebagai salah satu metode yang diharapkan secara alamiah membatasi jumlah parpol yang ikut pemilu. Sebab untuk apa negeri ini banyak partpol, jika sebagian besar sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri ketimbang memikirkan rakyat.
Sejak reformasi, sudah tiga kali diberi kesempatan begitu banyak parpol ikut pemilu, tetapi justru belum menghasilkan keterwakilan rakyat di parlemen yang bisa mengurus dan menyejahterakan rakyat. Dalam sistem pemerintahan presidensial, idealnya tidak terlalu banyak parpol peserta pemilu untuk mengefektifkan pemerintahan. Melihat pemerintahan sekarang yang begitu banyak parpol, presiden terkesan tersandera lantaran tidak bebas mengapresiasi hak prerogatifnya dalam menyusun kabinet akibat terbelenggu oleh koalisi parpol di parlemen.
Pemerintahan yang dijalankan presiden tak ubahnya seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang dibungkus sistem presidensial. Presiden serba ragu dalam mengambil keputusan lantaran harus bersinergi dengan kehendak koalisi yang sebetulnya tidak dikenal dalam sistem presidensial. Apakah negeri ini harus selalu dalam masa transisi demokrasi dengan menoleransi banyak parpol, hanya karena menghargai hak untuk berserikat. Idealnya ke depan, PT harus lebih ditingkatkan yang disinergikan dengan syarat bagi parpol untuk ikut pemilu, dengan harapan akan tercipta pemerintahan presidensial yang kuat.
Posting Komentar