Channel 12 - Gerakan kepemudaan/mahasiswa memang sudah
sejak lama dikenal sebagai gerakan pengusung berbagai perubahan. Selain
memiliki semangat juang membara, para aktivis kepemudaan yang sebagian
besar adalah mahasiswa juga dianggap memiliki intelektualitas tinggi dan
kapasitas kepribadian yang telah mapan.
Era awal gerakan kepemudaan/mahasiswa
Indonesia dimulai pada 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda dengan
ikrarnya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dengan merasa satu
rasa, para pemuda/mahasiswa bersama rakyat bersatu terus-menerus
memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga tiba masanya
(1945) para pemuda mendesak golongan tua agar segera memproklamasikan
kemerdekaan RI. Gerakan ini masih benar-benar murni berasal dari hati
nurani rakyat yang telah bosan terus-menerus dipecah-belah para
penjajah.
Masa kepemimpinan Soekarno bisa dibilang
sebagai masa keemasan negeri ini. Bung Karno memang sangat berani
melawan investor asing yang coba-coba ingin mengeruk kekayaan bumi
Indonesia. Banyak program Bung Karno yang membuat Indonesia menjadi
negeri yang disegani dunia. Sayangnya, hal ini justru membuat segala
keputusan yang ia buat adalah suatu kebenaran. Sehingga Bung Karno pun
berani melakukan pelanggaran konstitusional, yaitu memproklamasikan
dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Di samping mendapat apresiasi positif,
kepemimpinan Bung Karno juga membuat geram Amerika Serikat (AS) dan
sekutunya karena mereka takut kalau Indonesia menjadi negara besar. Hal
inilah yang membuat para intel AS, khususnya CIA, membuat strategi untuk
menghentikan kepemimpinan Bung Karno di Indonesia serta menggantikannya
dengan orang yang pro CIA. Setelah mengamati sepak terjang berbagai
kandidat, terpilihlah Soeharto untuk memuluskan gerakan ini.
Era perang dingin antara blok Barat (AS) dan
blok Timur (Russia), membuat Bung Karno berinisiatif mencanangkan
gerakan nonblok. Namun pada praktiknya, di dalam negeri, Bung Karno
cenderung menganakemaskan PKI dan bahkan mencanangkan nasakom
(nasionalis, agama, dan komunis) dalam bernegara. Kondisi-kondisi di
atas menjadi sela bagi CIA untuk mengekskalasi massa menurunkan
kepemimpinan Bung Karno dan menggantikannya dengan Soeharto. Mahasiswa,
yang saat itu hanya ada satu universitas, yaitu Universitas Indonesia
(yang tersebar di berbagai daerah dan kini sudah menjadi berbagai
universitas negeri), diberikan jaket kuning untuk kembali melakukan
pergerakan. Dari sinilah awal pergerakan kepemudaan/mahasiswa tidak lagi
berdasar hati nurani rakyat.
Setelah Soeharto naik menjadi presiden,
tiba-tiba saja mahasiswa tidak diperbolehkan melakukan pergerakan karena
diberlakukannya NKK/BKK. Pembungkaman juga merambah pada aktivis di
luar kampus. Bahkan orang-orang yang berani bersuara saat itu, harus
menanggung berbagai risiko pembungkaman seperti maraknya kasus orang
hilang, petrus (penembak misterius), atau bahkan dipenjara seperti yang
dialami Sri Bintang Pamungkas. Masa ini membuat Soeharto menjadi tidak
terbatas kekuasaannya hingga dengan terang benderang melakukan KKN
dengan menggandeng sanak saudara dan keluarga sebagai dalam
pemerintahan. Merajarelanya pengusaha China yang dikenal sebagai
kroninya Soeharto dan semakin sulitnya pengusaha pribumi untuk
mendirikan usaha turut menambah amarah rakyat. Hal ini membuat rakyat
dan mahasiswa kembali melakukan pergerakan.
Sejak awal berdirinya, gerakan mahasiswa
sudah terbagi dalam dua aliansi: kanan dan kiri. Aliansi kanan cenderung
berdasar pada nilai-nilai agama dan moralitas sehingga meskipun
melakukan gerakan besar-besaran, namun tetap rapih dan tertata.
Sedangkan gerakan kiri cenderung mengusung nilai-nilai revolusi yang
memaklumkan adanya korban jiwa di dalamnya. Jika isu yang diusung sama,
maka akan melakukan pergerakan yang sama meski dengan modelnya
masing-masing. Yang membedakan dari tiap gerakan adalah dominasinya,
jika didominasi gerakan kanan, maka kecenderungan akan rusuh dan memakan
korban akan sangatlah kecil. Sebaliknya, jika pergerakan didominasi
aliansi kiri, maka siap-siaplah dengan sejumlah korban jiwa yang
bergelimpangan.
Yang terjadi pada era ’98 adalah bersatunya
berbagai model pergerakan mahasiswa sehingga ada yang tertata rapih dan
ada yang rusuh. Beruntung, kondisi saat itu didukung oleh salah satu
tokoh gerakan kanan, Amien Rais, sehingga pergerakan menjadi terarah.
Mahasiswa pun berjanji akan terus mengawal reformasi dengan 6 visinya:
amandemen konstitusi, cabut dwi fungsi TNI, penegakkan supremasi hukum,
otonomi daerah, budayakan demokrasi, serta mengadili Soeharto dan
kroninya. Sayang, ternyata 6 visi reformasi ini tidak berjalan semulus
yang diangankan. Hingga kini, penegakkan supremasi hukum dan mengadili
Soeharto dan kroninya belum tercapai (bahkan berubah menjadi memaafkan
seiring dengan kian maraknya prilaku yang lebih busuk darinya).
Perjalananan mahasiswa mengawal 6 visi
reformasi ternyata juga tidak semulus yang dibayangkan karena dari
sinilah salah satu partai politik mulai melakukan kaderisasinya dengan
pengakaran melalui pembentukan jaringan dari skala besar
(kampus/wilayah/provinsi) hingga ke skala kecil (lingkup jurusan dan
angkatan). Saat partai politik tersebut masih berskala partai gurem,
segala aspirasi yang disampaikan melalui pergerakan mahasiswa masih
berkisar pada kepentingan rakyat sehingga pergerakan mahasiswa masih
terasa massif dan jaringan yang dibentuk diamini sebagian besar
mahasiswa.
Namun kondisi berbeda terjadi ketika partai
politik tersebut sudah menjadi partai besar yang berkoalisi dengan
partai penguasa negeri. Pergerakan pun sedikit demi sedikit mulai
dikurangi porsinya. Mahasiswa yang telanjur menjadi kader parpol
tersebut praktis mengikuti apa pun yang disampaikan dewan syuro parpol
terkait. Sebaliknya, mahasiswa yang telanjur terbiasa menyuarakan hati
nurani rakyat terpaksa didepak dari kaderisasi hingga pada 2003 terjadi
perpecahan pergerakan mahasiswa aliansi kanan. Gerakan mahasiswa kanan
yang terpecah ini sama sekali tidak kuat karena berjalan dengan
visi-misnya masing-masing.
Saat aktivis BEM 2002-2003 sudah mempunyai
BEM Se-Indonesia (SI), aktivis BEM 2003-2004 justru menandinginya dengan
BEM SE-Jabodetabek. Dari sisi masa dan pengalaman, kekuatan BEM
Se-Jabodetabek masih sangat jauh dari BEM SI. Hanya saja, karena terjadi
di masa BEM 2003-2004, praktis legalitas BEM 2002-2003 sudah tidak
diakui yang menyebabkan dukungan terhadap aktivitas pergerakannya kian
surut. Kondisi era 2004-2008 adalah kondisi dimana pergerakan mahasiswa
sudah benar-benar kehilangan ruhnya. Bahkan pergerakan terakhir yang
mereka lakukan hanyalah bersifat seremonial, yaitu peringatan 10 tahun
reformasi, bahkan bukan peringatan 10 tahun matinya reformasi.
Kondisi kosongnya pergerakan mahasiswa
menjadi celah yang membuka peluang bagi pergerakan beraliansi kiri yang
sebelumnya selalu terpinggirkan untuk masuk ke dalam BEM dan membentuk
BEM SI baru. Pada era ’98 gerakan ini menamakan dirinya sebagai Forkot
dan FRD. Dan karena pada era tersebut gerakan kiri ini mendapat kecaman
dari berbagai pihak, maka pada era 2000-an awal hingga kini mereka
berganti nama menjadi FAM dan FMN. Sudah banyak yang tau bahwa
gerakan mereka biasanya kurang terprogram hingga tidak jelas mau dibawa
ke mana arah pergerakannya. Bahkan sering terdengar selentingan bahwa
sumber pendanaan pergerakannya berasal dari pihak-pihak yang
menggerakannya.
Dan momen rencana kenaikan BBM bersubsidi pada awal
April adalah momen kembalinya munculnya pergerakan mahasiswa yang
sayangnya justru dari aliansi kiri. Maka jangan heran dengan model aksi
mereka yang rusuh dan memakan korban karena ini sesuai dengan nilai
revolusi yang diusungnya. Nama mahasiswa pun tercoreng. Sayangnya,
gerakan kanan sudah telanjur memiliki kontrak politik terhadap partai
yang saat ini berkoalaisi dengan partai penguasa hingga suara gerakan
kanan pun nyaris tak terdengar.
Ternyata, dari masa ke masa, pergerakan
mahasiswa selalu saja disusupi berbagai kepentingan politik. Namun tiada
kata jera dalam perjuangan.
Posting Komentar