1292 Pasar turi `sebagi pangkalan perahu sebelum menyebrang ke madura dan
dibuat perdagangan
“Di Kembang Sri,
Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dengan menyeberangi Bengawan. Dari 300
pengikutnya tinggal 12 orang saja. Yang lain ditangkap dan dibunuh oleh pasukan
Jayakawang. Dengan letih, lesu dan putusasa Raden Wijaya melanjutkan
pelariannya ke utara. Sampai di Desa Kudadu, kedatangannya disambut dengan
ramah temah oleh kepala desa dan dirawat baik-baik. Kemudian oleh rakyat Kudadu
Raden Wijaya dibawa ke pangkalan perahu Pejingan, dan dari pangkalan ini
melalui Kali Krembangan, berlayarlah Raden Wijaya menyeberangi laut ke Madura.
Pangkalan perahu Pejingan kemudian karena peristiwa itu diubah namanya
menjadi Datar, yang berarti tempat berangkatnya Sang Buruan (Raden Wijaya
diburu-buru oleh pasukan Jayakatwang). Nama Datar berubah menjadi Padatar,
seperti halnya “seba” menjadi “paseban”, dan lambat laun berubah lagi menjadi
Padatari. Karena pangkalan perahu ini kemudian berubah menjadi tempat
berkumpulnya orang mempertukarkan barang seperti pasar, maka namanya berubah
lagi dari Padatari ke Pasarturi.
Jadi menurut penyelidikan sejarah, pangkalan perahu tempat Raden Wijaya
menyelamatkan diri berlayar ke Madura pada tahun 1292 itu adalah di tempat ini,
yang sekarang bernama Pasarturi.”
Itulah awal pidato Walikotamadya Surabaya R. Soekotjo pada tanggal 21 Juni
1971 ketika membuka bangunan baru berlantai tiga Pasarturi. Bangunan itu adalah
tahap satu dari pembangunan dua tahap berikutnya. Sayang sekali tujuh tahun
kemudian, tanggal 2 Mei 1978, bangunan itu terbakar habis. Dan hanya tinggal
bangunan tahap tiga saja.
Kali Krembangan berangsur-angsur hilang dari wajah Kota Surabaya. Dan
pangkalan perahu Padatari terlanjur menjadi pasar, melanjutkan sejarahnya untuk
pusat kegiatan orang berjual beli. Padagang yang semula datang lewat sungai,
dengan dibangunnya rel keretaapi OJS Madura-Ujung-Sepanjang, berpindah
menggunakan kendaraan berrel besi itu. Orang-orang dari Madura menjual
buah-buahan hasil bumi Madura seperti salak, juwet, jambu kluthuk, jambu mete,
mangga naik keretaapi OJS turun dan dipasarkan di Pasarturi. Begitu juga para
petani di sekitar Sepanjang dan Karangpilang, mengangkut hasil buminya dengan
keretaapi OJS ke Pasarturi.
Sedang penjual toak dari Gresik semula masih bertahan membawa dagangannya
dengan cikar (lewat Tandes) menjuju ke Jembatan Merah. Tetapi setelah dibangun
jalan keretaapi NIS-SGS, mereka berganti kendaraan keretaapi dan tidak membawa
toaknya ke Jembatan Merah yang mulai ramai dibangun gedung-gedung perniagaan
(kantor) Belanda, berubah dipasarkan ke Pasarturi. Dengan keretaapi itu pula
pedagang hasil bumi dari Lamongan yang menjual semangka, garbis, bengkoang,
kedondong dan lain-lain barang dagangannya ke Pasarturi. Pasarturi menjadi
pusat perdagangan buah dan hasil bumi lainnya.
Pada zaman Jepang banyak toko tutup karena barang dagangan tidak ada. Tidak
banyak barang baru diperjualbelikan. Banyak orang kaya terutama yang bertempat
tinggal di daerah Darmo kehilangan pekerjaannya, terpaksa menjuali barang
kekayaannya kepada tukang loak. Tukang loak yang keluyuran di seluruh kota, setelah memperoleh
barang-barang dagangan yang kebanyakan berupa alat-alat rumahtangga atau
perabot rumah, membawanya ke pasar. Kendaraan umum pada zaman Jepang hanya ada
tram listrik yang melintas di tengah kota,
dan keretaapi OJS yang lewat Pasarturi. Kendaraan umum lainnya dokar atau
becak. Jadi yang praktis para tukang loak (rombeng) yang sudah dapat
barang-barang dari daerah perumahan orang kaya di Darmo, ya naik keretaapi OJS
menuju Pasarturi. Di sana
dipasarkan. Orang kaya baru yang menginginkan barang yang berkualitas tidak
lagi mencari barang di toko, toko yang berjualan barang semua tutup karena
tidak ada barang yang dijual, maka mereka memburu barang bekas di Pasarturi.
Maka sejak zaman Jepang (1942-1945) terkenallah Pasarturi sebagai pasar barang
rombeng alias pasar loak.
Ciri khas dan kebesaran Pasarturi sebagai tempat pasar rombeng berkembang
hingga zaman Indonesia Merdeka (1950-1970).
Konon kisahnya, sejak Indonesia Merdeka, Pasarturi sudah enam kali terbakar.
Termasuk kebakaran kena mortir pasukan Inggris Mansergh. Pasarturi paling
banyak kena sasaran mortir pada zaman perang melawan Inggris-Gurkha-Nica. Kata
orang Masjid Kemayoran yang diincar musuh karena tempat itu tempat kaum
muslimin berlindung dan berkukuh hati melawan pendaratan tentara Inggris. Tapi
Masjid Kemayoran utuh, sedang Gereja Kepanjen di depan Masjid Kemayoran atap
kuncupnya yang meruncing tinggi hancur terkena peluru mortir. Juga Markas
Pemuda Indonesia
(PTKR = Polisi Tentara Keamanan Rakyat) di depan Kantor Gubernur, sekarang Tugu
Pahlawan) menjadi incaran peluru meriam dari laut, darat dan bom dari udara.
Seluruh kampung dan bangunan di selatan rel keretaapi viaduk (dari Kapasari
hingga Pasarturi) hancur berantakan oleh peluru meriam dari kapal-kapal
Inggris, kecuali (yang tetap utuh) gedung Kantor Gubernur. Oleh pasukan
Mansergh pucuk jam kantor Gubernur ini dijadikan tetenger jauh-dekatnya peluru
meriam laut sampai ke sasaran, jadi menara jam yang tinggi letaknya itu tidak
dihancurkan. Tetapi peluru-peluru meriam lainnya banyak yang berjatuhan di
pasar yang malang
ini sehingga los-los pasar banyak yang hancur.
Pada zaman pendudukan Belanda (1945-1949) Pasarturi termasuk salah satu
pasar yang mendapat perbaikan, karena paling parah rusak akibat pertempuran 10
November 1945. Pasar-pasar tradisional yang lain di Surabaya keadaannya tidak
separah Pasarturi. Namun belum lagi tiga tahun dari perbaikan pada zaman
pendudukan Belanda tadi, pada tahun 1950 (sudah zaman Merdeka), api mengamuk di
pasar itu. Akibatnya bukan musna, tapi tumbuh kedai-kedai terbuat dari papan
mengelilingi bangunan pusat. Orang jual-beli tidak selalu di dalam pasar lagi,
tetapi juga bisa dilakukan sambil berdiri, tanpa memiliki stand tetap, dan di
jalanan sekeliling pasar. Dijual di sini barang-barang penemuan baru yang
dicoba pemasarannya, seperti sabun, kain, baju jadi, kopor, ban, alat-alat
listrik. Maklum, barang-barang itu pada zaman pendudukan Jepang sampai zaman
akhir perjuangan termasuk barang langka, tidak ada barang dari keluaran pabrik,
sedang waktu itu (1950-1960) Bung Karno tidak mau import barang, inginnya
segala produksi barang dibikin sendiri oleh putera bangsa. Barang-barang
penemuan baru seperti sabun, apa sabun batangan, apa sabun tolet, apa sabun cair,
masih terasa baru zaman itu, maka banyak diperkenalkan di Pasarturi.
Barang-barang penemuan baru maupun barang rombeng berupa perabot rumah dan
lain-lain itu kemudian berkembang pesat (jumlah pedagang maupun pembeli kian
banyak), sehingga memerlukan perluasan tempat. Maka lapangan hijau dan tempat
penggergajian kayu di sebelah barat pasar diubah menjadi tempat peragaan
perabot rumah tangga (barang-barang besar seperti almari, pintu model baru,
kursi, diperagakan di sana).
Masih berlanjut dari asal-muasal pedagangnya yang tukang loak, maka pemilik
stand ini kebanyakan juga keluarga tukang loak.
Lapangan hijau yang saya sebut tadi, dulunya pada zaman Hindia Belanda
merupakan lapangan tempat belajar menembak para serdadu KNIL (mungkin dari situ
asal nama Jalan Tembaan). Sebenarnya lapangan hijau tadi merupakan lapangan
yang bersejarah, karena ketika memperingati satu bulan umur Republik Indonesia para pemuda Surabaya merayakan upacara sebulan
kemerdekaan, 17 September 1945 di lapangan situ. Waktu itu meskipun Indonesia
sudah merdeka, keadaan Kota Surabaya masih diselimuti suasana zaman penjajahan
Jepang yang kejam,
heitaisan Jepang masih berjaga-jaga dengan senjata
di markasnya, maka untuk merayakan sebulan Indonesia Merdeka para pemuda
Surabaya mencari tempat yang tidak terlalu mencolok. Yaitu di lapangan tembak
Pasarturi tadi. Upacara tadi kemudian memicu pergerakan pemuda Surabaya merebut senjata Jepang. Ditambah
rapat samudra besar-besaran yang lebih berani di Tambaksari 21 September 1945,
keberanian pemuda itu menjadi pergerakan perebutan kekuasaan terhadap tentara
Jepang, terjadi pada 29-30 September 1945, dilakukan serentak oleh seluruh
rakyat Surabaya, baik dari kalangan pemerintah sipil, BKR, sampai rakyat-rakyat
di kampung-kampung. Malam itu hampir semua rakyat Surabaya tidak ada yang tidur, semua siap
merebut kekuasaan Jepang, semua bersiap-siap dengan teriakan “Siaaap!!” dan
memukul tabuhan bertalu-talu kalau terjadi perlawanan dari pihak (markas)
Jepang. Dari kejadian malam itulah kemudian rakyat Surabaya gampang sekali berteriak “Siaaap!”
dan pukul tabuhan, kadang-kadang bukan kenthongan tapi tiang listrik pun
dipukul bertalu-talu. Teriakan “Siaaap!” kemudian sangat ampuh ketika Kota
Surabaya menjadi ajang pertempuran September-Desember 1945. Teriakan “Siaaap!”
kemudian menjalar ke mana-mana di seluruh Indonesia selama periode perjuangan
melawan agresi Belanda (1945-1950). Tiap kali patriot Indonesia di
mana pun kapan pun berada melihat musuh, langsung berteriak, “Siaaap! Siaaap!”.
Rakyat Surabayalah yang awal mula berani melawan kekuasaan Jepang dengan
teriakan “Siaaap!” itu sehingga kemudian Indonesia Merdeka dengan perjuangan
bersenjata juga dari Surabayalah awalnya. Tidak ada teriakan “Siaaap!” oleh
rakyat Surabaya yang digemakan 29-30 September
1945, mungkin Indonesia
tidak merdeka yang dicapainya dengan perlawanan bersenjata. Mungkin merdeka
karena dapat hadiah dari Ratu Belanda. DR.H.TH.Bussemaker (orang Belanda) tahun
2005 menulis buku tentang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia
dijuduli “Bersiap!”. Saking ampuhnya teriakan “Bersiap!” pada periode
perjuangan bangsa Indonesia
untuk merdeka.
Yang juga berkembang pesat di Pasarturi zaman Orde Lama adalah jual-beli
sepeda dan alat-alat perlengkapannya. Pasar “sepeda” ini menempati sepanjang
jalan dari rel keretaapi Viaduk di utara pasar sampai ke Jalan Babadan.
Pada zaman Orde Baru, perhatian Pemerintah terhadap pasar sebagai prasarana kota dan organisme kebutuhan kota besar sekali. Pasarturi yang merupakan
pasar besar untuk dagangan basah dan kering, serbaada, dan punya ciri khas,
mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Kotapraja Surabaya.
Pada bulan Juni 1968 terbentuk Badan Otorita sebagai alat untuk
menyelenggarakan Proyek-proyek Pemerintah Dalam Kota. Dan Pasarturi yang
fungsinya begitu vital tetapi situasi dan kondisinya begitu jelek, mendapat
sorotan pertama dari badan ini. Pada bulan September 1968, beberapa pedagang
Pasarturi yang tergabung dalam H.P.S.P.T. berdialog dengan Walikotamadya
Surabaya di Ruang Sidang Taman Surya. Dicapai
kesepakatan, bahwa Pasarturi harus dibangun dengan rencana yang matang. Dalam
bangunan pasar yang diremajakan itu nanti dari bakul pecel pun akan ditampung
dan diperhatikan. Beaya peremajaannya meliputi Rp 300.000.000,00 – Rp
400.000.000,00, berlangsung dalam empat tahap dan diperkirakan selesai dalam
jangka waktu empat tahun. Luas bangunan pasar akan menjadi tiga kali lebih luas
daripada pasar lama karena dibangun bertingkat. Jalan di sebelah barat yang
tertutup oleh pedagang-pedagang sepeda akan dibuka lagi setelah pasar
diundurkan 15 meter. Sejak itu persiapan peremajaan bangunan Pasarturi pun
dimulai.
Namun, sebelum peremajaan terlaksana, pada tanggal 11 Maret 1969 Pasarturi
terbakar lagi. Sekali ini yang paling parah, yaitu 80% bangunan pasar hangus
jadi abu. Malapetaka telah melanda para pedagang yang mempertaruhkan hidupnya
di pasar itu. Pedagang mebel 80, pecah belah 153, alat sepeda/radio 71,
kacamata/arloji 234, rosokan besi 210, rombengan/konpeksi 335,
keris/plastik/antik 19, sayur/rempah 296……. Jumlah punya jumlah ada 2.363
pedagang!
Pada waktu itu Pasarturi telah menjadi pasar supplier bagi barang-barang
keperluan di daerah Jawa Timur, bahkan sampai Bali dan Lombok.
Pedagang alat-alat listrik, barang pecah-belah, sepeda, konpeksi telah punya
hubungan tetap dengan pedagang-pedagang di daerah.
Dikelola oleh swasta.
Akhirnya turunlah pernyataan Walikotamadya Kepala Daerah Kotamadya Surabaya
11 Juni 1969. Persoalan Pasarturi bukanlah soal pedagang-pedagang Pasarturi
saja, tetapi kepentingannya dirasakan dan dimiliki oleh seluruh warga,
penduduk, bahkan sampai ke warga Jawa Timur umumnya. Dengan demikian maka soal
pembangunan kembali Pasarturi adalah persoalan Pemerintah Daerah Kotamadya
Surabaya dan langsung dimasukkan dalam kegiatan penunjang Repelita. (Rencana
Pembangunan 5 tahunan).
Tanggal 11 Mei 1970 diadakan pengecoran beton pertama untuk pondasi lantai
datar blog I. Ketika upacara dilakukan Walikotamadya Surabaya R. Soekotjo
menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak swasta yang telah membantu
membangun Pasarturi dengan bertindak sebagai investor. Patut diketahui bahwa
Pasarturi adalah proyek pembangunan pasar yang pertama yang diserahkan kepada
investor swasta dalam hal ini CV. Sinar Galaxy. Pada saat itu bayangan bahwa
keuntungan segera bisa diperoleh dari pengelolaan pasar amat kabur, sebab
sebegitu banyak pasar yang dikelola oleh Dinas Perusahaan Pasar tidak banyak
memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah. Karena itu menanam modal dengan
mengharapkan imbalan dari hasil pengelolaan pasar sulit dibayangkan.
Setelah Pasarturi, oleh Walikotamadya Surabaya R. Soekotjo berturut-turut
banyak pasar-pasar di Surabaya dibangun dengan modal investor dari swasta,
antara lain Pasar Genteng, Pasar Kapasan, Pasar Tambahrejo. Kalau pasar-pasar tradisional
lama yang kena perbaikan dengan investor swasta biasanya sudah merupakan
bangunan pasar yang lalu direnovasi total, maka Pasar Tambahrejo waktu itu
masih merupakan lapangan rumput. Pasar krempyeng (tidak resmi) tumbuh di
sepanjang Jalan Kapaskrampung.
Dengan bantuan modal swasta ini Pasarturi 400 hari kemudian, pada tanggal 21
Juni 1971, disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, bangunan
Pasarturi wajah baru, megah dan tiga lantai, diresmikan penggunaannya. Dengan
bangunan pasar yang megah dan luas itu, fungsi Pasarturi sebagai prasarana
perdagangan meningkat pesat. Bukan lagi tempat orang Jawa Timur dan Bali
berbelanja atau melakukan kegiatan candak-kulak, melainkan juga menjadi pasar
interinsuler, pasar antarpulau Indonesia
bagian timur. Banyak pedagang dari Banjarmasin, Ambon, Jayapura, Ujungpandang,
Menado, Nusa Tenggara datang ke Pasarturi memilih barang dan kemudian
memperjual-belikan barang yang dipilih di Pasarturi itu di daerah asal
masing-masing.
Meskipun rel keretaapi OJS sudah tidak beroperasi lagi (relnya dibongkar
1969 ketika Surabaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional
VII), tetapi kemajuan transportasi kendaraan bermotor dapat menggantikannya,
sehingga pergantian masalah transportasi ini tidak mengganggu ramainya
lalu-lintas barang, uang dan pengunjung Pasarturi.
Dengan cepat bangunan tahap kedua dan ketiga diselesaikan. Maka sempurnalah
Pasarturi Surabaya, bisa berfungsi dan berjalan sepenuhnya. Barang perdagangan
yang meningkat sekali omzetnya antara lain alat-alat listrik, konpeksi, kain,
alat sepeda, mesin jahit, alat dapur, pecah-belah, dan lain-lain. Untuk perabot
rumah-tangga yang dulu mendapat tempat luas masih memperoleh tempat pada pasar
baru ini, tetapi agaknya kurang berkembang pesat. Hal ini disebabkan pengunjung
Pasarturi punya perhatian besar pada barang dagangan yang tersebut terdahulu,
dan lagi toko perabot rumah yang ideal tidak mungkin dipasarkan di bangunan
Pasarturi baru. Begitu juga sepeda dan loak, terpaksa mendapatkan tempat di luar
bangunan baru. Sedang pasar basah untuk keperluan dapur sehari-hari mendapat
tempat di bangunan tahap III.
Dengan dioperasikannya bangunan baru ini, Pasarturi tidak hanya berfungsi
sebagai pasar, tetapi juga tempat berrekreasi. Baik warga kota
Surabaya maupun pengunjung dari luar kota banyak datang, bukan
hendak berbelanja melainkan sekedar mencari suasana lain dari kehidupan
sehari-hari.
Namun untung tak dapat diraih, malang
tak dapat ditolak. Pada tanggal 2 Mei 1978, Pasarturi yang megah dan berfungsi penuh
itu terbakar lagi! Bangunan tahap satu dan dua hangus jadi abu. Hanya bangunan
tahap III luput dari amukan api, yaitu bangunan di sebelah barat yang ada jarak
ruang kosong antara dari tahap I dan II.
Dibangun kembali dengan dana Inpres 8/1979.
Pemerintah tetap bermaksud mendirikan kembali bangunan di atas tanah tempat
bangunan lama untuk pengganti Pasarturi yang terbakar. Dan pada hari Minggu
tanggal 17 Agustus 1980 Gubernur Jawa Timur Soenandar Prijosoedarmo meletakkan
batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan kembali Pasarturi.
Berbeda dengan pembangunan Pasarturi 1971, pembangunan yang baru ini tidak
dibeayai oleh pihak swasta sebagai investor, melainkan dengan dana Inpres nomor
8 tahun 1979. Sedangkan pelaksanaan pembangunannya menggunakan sistem
Constructions Management. Dengan sistem Constructions Managements pekerjaan
dibagi menjadi banyak paket untuk bisa diserahkan kepada banyak kontraktor. Dan
tidak diserahkan hanya kepada kontraktor tunggal. Dengan ikut sertanya banyak
kontraktor maka kecepatan selesainya pembangunan tercapai dan beayanya bisa
dihemat. Menurut perhitungan, ada keuntungan waktu sekitar 6 bulan bila
dibanding dengan sistem borongan tunggal.
Keuntungan lain adalah bestek tiap paket bisa dikerjakan secara bertahap.
Sistem ini melaksanakan instruksi Pemerintah Pusat, yaitu proyek dipecah dalam
berbagai paket, dan dengan demikian dapat menyerap lebih banyak keikutsertaan
pihak swasta golongan ekonomi lemah atau menengah. Maka ada pemerataan dalam
berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi kontraktor golongan ekonomi
lemah.
Dengan sistem Constructions Management pelaksanaan pembangunan proyek Pasarturi
tahap demi tahap dapat diawasi dengan teliti, dikendalikan dan diarahkan,
sehingga para kontraktor tidak akan menyimpang dari perencanaan yang telah
digariskan. Sesuai dengan jiwa instruksi Presiden nomor 8 tahun 1979,
penggunaan bangunan Pasarturi juga berpegang pada ketentuan bahwa 60% stand
untuk pedagang golongan ekonomi lemah dan 40% stand untuk kgolongan yang lain.
Bangunan Pasarturi tadi dibangun dengan dana Inpres 8/1979, mula-mula
direncanakan akan menelan beaya Rp 7.409.034.000,00 (termasuk pemberian ganti
rugi pada CV Sinar Galaxy). Namun karena pengaruh kenaikan BBM beaya konstruksi
yang semula direncanakan berjumlah Rp 5.126.481.000,00 tidak mencukupi. Maka
untuk itu mendapat tambahan beaya sebesar Rp 981.129.528,02.
Bangunan baru ini merupakan bangunan yang terdiri dari tiga zone,
masing-masing terdiri dari tiga lantai dengan luas efektif 20.503,44 M2 (87,72%
dari luas efektif bangunan yang terbakar). Penyusutan terjadi karena adanya
tambahan ruang terbuka yang tidak digunakan untuk tempat berjualan.
Pasarturi yang diresmikan penggunaannya bulan Desember 1982 ini dilengkapi
dengan 8 unit escalator (tangga berjalan), sedang untuk mencegah bahaya
kebakaran disediakan 16 fire house pada masing-masing lantai. Di kompleks itu
juga disediakan 11 tife hidrant dan 9 sumur pemadam kebakaran.
Halaman parkir cukup luas, diperkirakan mampu menampung kendaraan
pengunjung. Bangunan Pasarturi ini terdiri dari 3350 stand dan los dengan luas
20.503,44 M2, terdiri dari:
Lantai I 880 stand luas 5.709,60 M2, — 184 los luas 894,24 M2
Lantai II 928 stand luas 5.916,96 M2 – 232 los luas 1.127,52 M2
Lantai III 894 stand luas 5.727,60 M2 – 232 los luas 1.127,52 M2.
Bangunan Pasarturi selesai dibangun dengan dana dan persyaratan sesuai
dengan yang ditentukan oleh Inpres Pasar Nomor8 tahun 1979. Persyaraatan itu
antara lain penempatan pedagang di dalamnya antara yang lemah ekonominya dan
nonpribumi setidaknya mutlak minimal berbanding 60% : 40%. Izin penempatan tadi
telah diatur oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya sebagai berikut:
Lanatai I – jumlah kios/los 1.064 buah, disediakan untuk pedagang pribumi
62,59%, disediakan untuk pedagang nonpribumi 37,41%.
Lantai II – jumlah kios/los 1.158 buah, disediakan untuk pedagang pribumi
62,59% disediakan untuk pedagang nonpribumi 37,41%.
Lantai III – jumlah kios/los 1.128 buah, disediakan untuk pedagang pribumi
70,43%, disediakan untuk pedagang nonpribumi 29,57%.
Jumlah kios/los seluruhnya 3.350 buah, diberikan kepada pedagang lama yang
sebelumnya sudah berjualan di Pasarturi sejumlahy 2.265 buah kios. Sisanya
disediakan kepada pedagang pribumi yang menyewa di tempat penampungan dan
pedagang pemohon baru.
Agar harga penebusan kios/los dapat dijankau oleh para pedagang pribumi yang
mereka berksempatan untuk mendapatkan tempat yang strategis, maka Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II surabaya bersama-sama DPRD Kotamadya Daerah Tingkat
II Surabaya telah menetapkan harga kios/los sebagai berikut:
Harga kios (stand) lantai I dan II – Rp 408.000,00 per M2
Harga los lantai I dan II – Rp 326.000,00 per M2
Harga kios (stand) lantai III – Rp 286.000,00 per M2
Harga los lantai III – Rp 229.000,00 per M2.
Selain itu untuk membantu para pedagang pribumi pada waktu yang tepat kepada
mereka nanti diusahakan mendapatkan KIK guna memperoleh kios/los mereka.
Persyaratan bunga KIK 10½% setahun dan jangka waktu pengembalian antara 8 – 10
tahun. Oleh BRI Cabang Pasarturi akan diadakan uji coba kesungguhan para
pedagang antara 3 sampai 6 bulan sebelum KIK diberikan.
Dengan strategi pemberian keringanan dan kesempatan berkembang kepada para
pedagang ekonomi lemah seperti itu diharapkan dioperasikannya Pasarturi dengan
bangunannya yang baru (1982) akan merupakan sarana ekonomi yang tepat untuk
Kota Surabaya, dan menjadi pola andalan perkembangan peranan perdagangan baru
nasional.
Kiranya perlu juga dikemukakan di sini bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
Pasarturi 1982 ini sebagian besar bahan yang digunakan, sejauh mungkin
diusahakan barang produksi dalam negeri dan kontraktor lokal. Seperti misalnya
PT ADHI KARYA Jl. Pasar Besar No. 1 Surabaya yang mengerjakan fondasi/tiang
pancang, PT PP Jl. Raya Darmo 29 Surabaya mengerjakan Super Structure Zone I,
PT MERCU BUANA Jl. Tanjungsadari 3 Surabaya mengerjakan Super Structure Zone II
dan CV PARVITA SARANA Jl. Tembok Dukuh 66-68 Surabaya mengerjakan Super
Structure Zone III. Sedang barang-barang atau bahan yang tidak bisa dibuat di
dalam negeri terpaksa diimport, misalnya escalator dan lift yang dikerjakan
oleh CV RAYA METAL Jl. Gatotan No. 45 Surabaya.
Demikianlah, maka kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan sejak
awal hingga terwujudnya sampai selesai pembangunan kembali Pasarturi hingga
1982 ini, Pimpinan Proyek pembangunan Pasarturi (Baru) Ir. T. Soedarsono
Hatmosoewarno menyampaikan terimakasih.
Bangunan Pasarturi 1982 ini kemudian terbakar lagi pada
tahun 2002. Sampai tahun 2010 ini belum dibangun lagi. Masih dalam perbincangan
yang tidak gampang solusinya. Mudah-mudahan dengan Walikota yang baru ini
pembangunan Pasarturi yang lebih baru akan segera selesai dan lebih bermanfaat
pemerataan fungsinya, baik bagi pedagang, pembeli, dan Kota Surabaya pada
umumnya.
Pasar turi terbakar pada tahun
- 1950
- 2
mei 1978
- 2002
- 26
juli 2007 (1200 stand ludes)
- 9
september 2007 (1300 stand ludes)
- 6
september 2012 (973 stand ludes)