Penganut Syiah di Indonesia kini mencapai sekitar 2,5 juta orang,
Tokoh Syiah Indonesia yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaludin Rakhmat, mengisahkan konflik antara Sunni dan Syiah sudah berlangsung sejak seribu tahun lalu di seluruh dunia, sama seperti Protestan dan Katolik. Namun, konflik di Indonesia sendiri baru muncul belakangan, dan itu pun hanya terjadi di Sampang.
Mayoritas penduduk Indonesia, sama seperti pemeluk Islam di dunia, memang pengikut Ahli Sunnah Waljamaah atau Sunni yang berpedoman pada Al Quran dan hadits sahih. Sementara Syiah berpedoman kepada ajaran Nabi Muhammad dan Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad. Rukun Iman dan Rukun Islam antara Sunni dan Syiah pun berbeda. Itu sebabnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah sesat.
Namun, Menteri Agama, Suryadharma Ali, pernah menegaskan bahwa ajaran Syiah masih berada dalam koridor. Dia mengajak masyarakat untuk mengukur suatu agama berdasarkan akidahnya. "Kita bisa lihat pandangan MUI tentang Syiah seperti apa dalam mengukur suatu agama, pada akhirnya kalau akidahnya sama ya tidak ada masalah," kata Suryadharma, Senin 2 Januari 2011.
Hanya saja, kata Suryadharma, ada beberapa hal interpretasi yang berbeda. Perbedaan itu, kata dia adalah sesuatu hal yang wajar. Bahkan, di dalam internal Sunni sendiri ada perbedaan interpretasi. "Interpretasi yang berbeda juga ada di dalam Sunni, perbedaan-perbedaan itu yang masih dalam batas toleransi itu pada akidah," kata dia.
Dia menegaskan bahwa soal Tauhid dan keimanan antara Sunni dan Syiah tidak ada perbedaan. Berkaitan dengan soal ini, Jalaludin mengatakan bahwa jika ada pihak yang tidak sependapat dengan ajaran Syiah, ia meminta pihak Sunni maupun pihak lainnya, tidak menggunakan kekerasan.
"Kalau seandainya kami sesat jangan diserang. Bilang saja kami salah," ujar Jalaludin Rakhmat. "Jika orang berkata itu sesat, please show me. Karena setiap perbedaan bukan berarti salah. Karena itu kami tidak menyebutnya percaya pada hari akhir, tapi bagaimana cara kita kembali," tuturnya.
Sejarah Syiah di bumi Nusantara sebenarnya lebih tua dari kemerdekaan Republik Indonesia. Jalaludin menceritakan, Syiah masuk ke Indonesia lewat tiga gelombang besar. Gelombang pertama dibawa oleh para penyebar Islam awal.
Jejaknya dapat dilihat dari beberapa kuburan Syiah yang terdapat di beberapa daerah. Selain itu, tradisi ziarah dan tahlilan juga disebut sebagai peninggalan Syiah di awal masuknya ke nusantara.
Sejumlah sumber bahkan menduga Syiah didakwahkan ke Nusantara sudah sejak Dinasti Abbasiyah, kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad pada tahun 750-1258. Jejak paling jelas masuknya Syiah ke Nusantara terlihat di Aceh. Antara lain tampak dari penggalan salah satu lirik lagu Aceh yang menceritakan tentang tragedi Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Hasan ngon Husen cucoe di Nabi (Hasan dan Husain cucu Nabi) / Aneuk bak Siti Fatimah Zuhra (Anak dari Siti Fatimah Az-Zahra) / Syahid di Husen teuma dalam prang (Mati syahid Hasan di dalam perang) / Syahid di Hasan inong brie tuba (Mati syahid Husen diracun istri).
Lagu itu antara lain berkisah tentang pembantaian Husain bin Ali akibat perebutan kekuasaan pendukung Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua Bani Umayyah, dengan pengikut Husain yang menentang Yazid naik ke kursi kekhalifahan. Peristiwa pembantaian ini dikenal sebagai tragedi Karbala (Asyura) yang kerap diperingati kaum Syiah dengan memukul-mukul tubuh sebagai bentuk perkabungan atas terbunuhnya Husain, cucu Nabi Muhammad SAW itu.
Dalam sebuah artikel berjudul “Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh” yang ditulis oleh mantan Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan Nasional, almarhum Hasballah M. Saad, disebut juga bahwa beberapa kesenian Aceh seperti Tari Seudati dan Tari Saman pun mengandung simbol mahzab Syiah. Hal itu tampak dari gerakan Tari Saman yang memukul-mukul dada sendiri, persis seperti ritual Karbala.
Tradisi Asyura pun tak asing bagi masyarakat Aceh. Namun, hari pembantaian Husain itu tidak diperingati besar-besaran, melainkan hanya dengan berpuasa dan membagi-bagikan bubur beras. Menurut tokoh muda Syiah di Aceh, Ustadz Andi Mahdi, peringatan Hari Asyura di Aceh sebenarnya belum tentu menunjukkan Syiah berpengaruh besar terhadap budaya Aceh.
Peringatan Hari Asyura di Aceh, kata dia, lebih sebagai bentuk pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad. “Sebenarnya peringatan Hari Asyura itu bukan hanya milik orang Syiah, tapi juga milik umat Islam secara keseluruhan,” kata Andi.
Ia menjelaskan masyarakat Aceh tidak pernah membeda-bedakan apalagi mengelompokkan umat Islam ke dalam Sunni atau Syiah, dan upaya kelompok tertentu untuk mendiskreditkan Syiah di Aceh pun selalu gagal.
Tak hanya di Aceh, jejak Syiah juga tampak di Kota Pariaman, Sumatera Barat, melalui Festival Tabuik yang rutin digelar setiap tahunnya. Festival tersebut merupakan perayaan dalam rangka memperingati Hari Asyura. Pertempuran Karbala yang menewaskan Husain bin Ali bahkan ditampilkan dalam festival yang selalu dihadiri oleh ribuan orang ini.
“Tabuik” sendiri merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Tabuik itu nantinya akan berakhir dengan dilarungkan ke laut diiringi dentuman gendang tassa dan dhol. Uniknya, meski Tabuik adalah tradisi Syiah, penduduk Pariaman mayoritas merupakan penganut Sunni.
Di Bengkulu, prosesi Tabuik pun dikenal dengan nama “Tabot.” Budaya Tabuik yang berkembang turun-temurun di Pariaman ini diperkirakan dimulai sejak tahun 1831. Namun analis sejarah Islam dari Magistra Indonesia (Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia), Muhammad Nasir, berpendapat masuknya pengaruh Syiah ke Sumatera Barat telah terjadi jauh sebelum tahun 1831, yaitu sekitar tiga abad sebelumnya. “Pengaruh Syiah diperkirakan sudah sampai ke Sumatera Barat pada abad ke-16 dan 17,” kata Nasir yang juga staf pengajar di Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang, itu.
Pengaruh Syiah itu ditunjukkan dengan berkembangnya Tarekat Syattariyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat yang bertahan hingga kini. Kedua tarekat itu dinilai sebagai bentuk pembauran Syiah di Sumbar.
Meski demikian, tidak ada warga Sumatera Barat yang benar-benar menganut Syiah murni. “Meski istilah Syiah banyak dipakai di sini, tapi yang berkembang di Sumbar adalah Islam Sunni,” ujar Nasir.
Hal serupa juga dikatakan Sekretaris Tarekat Naqsyabandiyah, Edizon Revindo. Menurutnya, sampai saat ini tidak ditemukan kelompok Syiah di Sumatera Barat.
Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah yang memiliki kedekatan kuat dengan budaya Syiah itu juga ternyata merupakan pengikut Sunni. “Di Sumatera Barat, adat berperan besar dalam proses akulturasi aliran-aliran yang ada,” kata ulama Tarekat Syattariyah, Syafri Tuanku Imam Sutan Sari Alam.
Intelektual Syiah
Gelombang kedua masuknya Syiah ke nusantara terjadi ketika Republik Indonesia telah terbentuk. Gelombang Syiah kali ini bertalian erat dengan revolusi Islam di Iran yang mengubah Iran dari monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadi Republik Islam di bawah pimpinan Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini. Saat itu, kaum Syiah mendadak memiliki negara, yaitu Iran.
Dengan biaya Iran, Syiah lantas disebarkan ke seluruh dunia. Di Indonesia pun mulai muncul orang-orang yang tertarik dengan Syiah, namun bukan paham Syiah-nya, melainkan dengan pemikiran Syiah-nya. Pemikiran revolusioner Ali Syariati misalnya, mendapat tempat di Indonesia. Ali Syariati sendiri adalah sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya di bidang sosiologi agama.
Saat itu, Indonesia berada di akhir masa Orde Baru. Karya-karya Ali Syariati pun dibaca di kampus-kampus. Oleh karena itu kelompok Syiah gelombang kedua di nusantara ini umumnya merupakan golongan intelektual yang berasal dari universitas, salah satunya adalah Jalaludin Rakhmat.
Posting Komentar